February 25, 2009

Menelusuri peristiwa berdarah di Karbala...

Entri kedua untuk hari ini. Kerana esok belum pasti ada.
Kali ini saya akan berbahasa 'aku'.

Kerana ini adalah nota kepada diri...

Sepetang ini aku memanfaatkan masa yang ada untuk menelusuri tragedi berdarah di Karbala. Maha Besar Allah yang menggerakkan hatiku untuk menghayati peristiwa ini. Dia mengerti kegundahan hatiku, dan memberiku kesempatan untuk mengutip ketabahan dari kisah yang memilukan ini.

Siapapun akan mengalirkan airmata sepanjang menelusuri sirah ini. Cucu Rasulullah yang mulia, Imam Husain syahid di lautan darah karbala. Allah dan Rasul-Nya menyaksikan jihad yang penuh keterasingan ini. Beliau menentang manusia2 yang sudah tidak peduli tentang syurga dan neraka berseorangan. Semua sahabat2 dan ahlul bait yang bersama beliau telah syahid terlebih dahulu, mengorbankan segenap jiwa raga untuk memelihara maruah Islam dan melindungi pemimpin yang disanjungi. Imam Husain mewarisi kehebatan ayahandanya dalam berperang. Masakan tidak, Saidina Ali karamallahu wajhah memang seorang yang hebat dan berani, sehingga diberi gelaran sebagai singa Allah.

Imam Husain mencabar tentera Umar bin Sa'ad untuk bersemuka satu lawan satu. Ya, siapa sahaja yang berlawan secara satria dengannya pasti akan tumpas. Kehebatan beliau membimbangkan Umar bin Sa'ad. Andai dibiarkan sahaja, maka tenteranya akan habis dibunuh oleh Imam Husain. Maka celakalah mereka, memungkiri janji, dan mengepung Imam Husain dari segenap penjuru. Inilah saat2 genting, di mana manusia2 keji ini telah lupa siapa yang mahu mereka penggal. Ah, aku tidak dapat menahan sebak ketika membayangkan insan mulia ini dihujani dengan anak panah, dilempar dengan batu, ditusuk dengan besi dan pedang, dan akhirnya dipenggal dengan kejam oleh manusia durjana berhati syaitan. Tiada satu bahagian pun yang tidak terkena anak panah. Kepalanya dipenggal dan ditancakkan di bucu tombak. Manusia2 durjana itu bersorak gembira. Umar bin Sa'ad memerintahkan tenteranya menginjak-injak jasad Imam Husain dengan kuda2 mereka. Ramai yang tidak mahu melakukan tindakan sebiadap itu terhadap jasad cucunda kesayangan Rasulullah itu. Namun seramai 10 orang pemuda mara dan menginjak-injak jasad insan mulia itu sehingga remuk redam dan patah tulangnya. Mereka ketawa terkekeh-kekeh seolah-olah itu kemenangan besar. Mereka seakan tidak sedar bahawa laknat Allah menanti di dunia dan pastinya di akhirat. Mereka akan mendapat kehinaan dan azab Allah. Sedangkan putera2 azzahra dan sahabat2 mereka sudah bahagia di sisi Allah dan Rasul-Nya. Itulah nikmat yang tiada terbanding. Itulah nikmat para syuhada'.

Sebelum ini aku tidak tahu. Benar, aku tidak tahu. Selama ini aku mengira bahawa kisah di karbala ini seperti peperangan yang lainnya. Rupanya ia jauh lebih kejam daripada itu. Kepala putera2 azzahra dipenggal. Ahlul bait dibiarkan kehausan, tidak dibenarkan minum walau sedikit pun air sungai Elfrat. Ahlul bait dihina sebegitu teruk. Putera puteri azzahra merintih kehausan, harta mereka dirampas, mereka ditawan dan diperlakukan dengan hina. Aku mengalirkan airmata. Hatiku sebak dalam membayangkan keresahan dan ketakutan wanita2 dan anak2 kecil. Betapa deritanya mereka..

Rasulullah pernah bersabda:
"Puteraku Husain akan terbunuh di padang Karbala dalam keadaan terasing seorang diri. Barangsiapa yang menolongnya, maka dia telah menolongku, dan barangsiapa yang menolongku, maka dia menolong putera keturunan Husain yaitu Al-Qaim dari keluarga Muhammad, dan barang siapa yang menolong kami, maka pada hari kiamat nanti dia akan dimasukkan ke dalam golonganku.'"


Sungguh, beliau sudah tahu itulah akhir kehidupan beliau. Maka pada malam sebelum pertempuran, beliau mengizinkan sahabat2 yang bersamanya untuk pulang ke kampung halaman masing2. Namun jiwa2 yang cintakan Allah dan Rasul tidak sekali-kali akan menjadi sepengecut itu. Mereka tidak cintakan dunia. Meraka dambakan kesyahidan di jalan Allah. Aku terharu sekali melihatkan kesetiaan ini. Keteguhan iman mereka tidak terbanding. Biarpun mereke semua tahu bahawa diri masing2 akan dipenggal dan digiring dengan keadaan diri yang kehausan, mereka tetap sabar dalam keimanan. Di mata masing2 terbayang lambaian syurga. Biarlah haus di dunia, namun pastinya telaga Al-Kautsar menanti menanti kedatangan mereka.

Hazrat Zainab as mengisahkan: "Pertengahan malam Asyura aku mendatangi tenda adikku, Abu Fadhl Abbas. Aku menyaksikan para pemuda Bani Hasyim berkumpul mengelilinginya. Abu Fadhl berkata mereka:

'Saudara-saudaraku sekalina, jika besok perang sudah dimulai, orang-orang yang pertama kali bergegas ke medan pertempuran adalah kalian sendiri agar masyarakat tidak mengatakan bahwa Bani Hasyim telah meminta pertolongan orang lain tetapi mereka (Bani Hasyim) ternyata lebih mementingkan kehidupan mereka sendiri ketimbang kematian orang-orang lain….'

"Para pemuda Bani Hasyim itu menjawab: 'Kami taat kepada perintahmu.'"

Hazrat Zainab juga berkisah: "Dari kemah itu kemudian aku mendatangi tenda Habib bin Madhahir. Aku mendapatinya sedang berunding dengan beberapa orang non-Bani Hasyim. Habib bin Madhahir berkata kepada mereka:

'Besok, tatkala perang sudah dimulai, kalianlah yang harus terjun terlebih dahulu ke medan laga, dan jangan sampai kalian didahului oleh satupun orang dari Bani Hasyim, karena mereka adalah para pemuka dan junjungan kita semua…' "

"Para sahabat Habib bin Madhahir berkata: 'Kata-katamu benar, dan kami akan setia mentaatinya.' "

Malam Asyura itu seakan diharapkan segela berlalu untuk menyongsong pagi dan siang yang akan mementaskan adegan keberanian pahlawan-pahlawan Karbala yang bersenjatakan keperkasaan iman dan semangat pengorbanan yang besar, semangat altruisme yang kelak terpahat dalam prasasti keabadian sejarah.

Namun demikian, kegagah beranian para pejuang Islam tentu saja mempersembahkan adegan haru biru yang merenyuhkan simpati, empati, dan hati nurani setiap insan sejati. Karenanya, dalam kitab Maqtal Al-Husain tercatat untaian syair yang menyatakan:

"Seandainya hari Asyura itu mengerti apa yang akan terjadi di dalamnya, niscaya fajarnya tidak akan menyemburat dan bersinar, sebagaimana mentarinya juga tak akan mengguyur cahaya untuk menyajikan siang."

Imam Husain as dan para pengikutnya kemudian menghabiskan saat-saat malam Asyura itu dengan ibadah dan munajat. Rintihan dan doa mereka terdengar bagai dengung lebah. Masing-masing melarutkan diri dalam suasana khusuk sujud, dan tengadah tangan doa di depan Allah SWT.

Malam Asyura adalah malam perpisahan keluarga suci Rasulullah saw di alam fana. Saat itu adalah malam pembaharuan janji dan sumpah setia yang pernah dinyatakan di alam zarrah untuk kemudian dibuktikan pada hari Asyura.

Imam Husain as sendiri sangatlah mendambakan terlaksananya janji itu. Malam itu Allah mengutus malaikat Jibril as untuk membawakan catatan ikrar yang pernah dinyatakan Imam Husain as agar cucu Rasul ini memperbaharui janjinya itu. Saat tiba di depan Imam Husain as, Jibril as berkata:

"Hai Husain, Allah SWT telah berfirman: 'Jika kamu menyesali janjimu itu, maka boleh menggagalkannya, dan Aku akan memaafkanmu.' "

Imam Husain as menjawab: "Tidak, aku tidak menyesalinya."

Malaikat Jibril as kemudian kembali ke langit, dan tatkala fajar menerangi cakrawala untuk menyongsong pagi, Imam Husain as dan rombongannya yang sudah kehabisan bekal air terpaksa bertayammum untuk menunaikan solat Subuh jamaah. Seusai tahiyat dan salam Imam Husain as berdoa kepada Al-Khalik:

"Wahai Engkau Sang Maha Penolong orang-orang suci, Wahai Sang Maha Pengampun di hari pembalasan, sesungguhnya ini adalah hari yang telah Engkau janjikan, dan hari dimana datukku, ayahku, ibuku, dan saudaraku ikut menyaksikan."

Imam Husain as kemudian membaca awal surat Al-waaqi'ah:

"Tatkala peristiwa besar (hari kiamat) terjadi, tidak ada seorangpun yang dapat mendustakan kejadiannya."

Malaikat Jibril as berkata: "Hai Husain, hari ini engkau harus terjun ke medan laga dengan jiwa yang penuh kerinduan sebagaimana kerinduan setiap orang kepada kekasihnya."

Imam Husain as menjawab: "Hai Jibril, sekarang lihatlah mereka yang terdiri dari orang-orang tua dan muda, kaya dan miskin, serta para wanita yang rambutnya sudah lusuh, para hamba sahaya, dan para anggota rumah tangga ini telah aku bina sedemikian rupa sehingga untuk menjadi tawananpun mereka siap. Mereka inilah Ali Akbar, Abbas, Qasim, 'Aun, Fadhl, Jakfar, serta para pemuda yang sudah dewasa, dan inilah mereka sekumpulan kaum wanita dan anak-anak, mereka semua telah aku bawa aku korbankan sebelum kemudian akupun akan menyerahkan nyawaku."

Jibril as menjawab: "Hujjahmu sudah sempurna, maka sekarang bersiaplah untuk menyambut cobaan besar.."

Jibril as kemudian terbang ke langit sambil berseru: "Hai pasukan Allah, segeralah mengendarai kuda!"

Mendengar suara ini, segenap pasukan Imam Husain as bergegas mengendarai kuda kemudian membentuk barisan kecil di depan barisan raksasa pasukan musuh.

Saat pasukan Umar bin Sa'ad juga sudah mengendarai kuda dan siap membantai Imam Husain as dan rombongannya, Imam Husain as memerintahkan Barir bin Khudair untuk mencoba memberikan nasihat lagi kepada musuh. Namun, apalah artinya kata-kata Barir untuk musuh yang sudah menutup pintu hati nurani mereka itu. Apapun yang dikatakan Barir sama sekali tidak menyentuh jiwa dan perasaan mereka.

Hatiku semakin sebak ketika meneruskan pembacaan, terutama pada bahagian yang aku 'paste' kan di bawah ini.


Untuk sementara kalangan, hari Asyura saat itu adalah hari jihad, pengorbanan, dan perjuangan menegakkan kebenaran. Namun, untuk kalangan lain, hari itu adalah hari pesta darah, hari perang, dan hari penumpahan ambisi-ambisi duniawi. Akibatnya, terjadilah banjir darah para pahlawan Karbala yang terdiri anak keturunan Rasul dan para pecintanya.

Hari itu tanah Karbala sedang diguyur sengatan terik mentari yang mengeringkan tenggorokan para pahlawan Karbala. Hari itu, para pejuang Islam sejati itu satu persatu bergelimpangan meninggalkan sanjungan sejatinya, Husain putera Fatimah binti Muhammad SAW. Bintang kejora Ahlul Bait Rasul ini akhirnya menatap pemandangan sekelilingnya. Wajah-wajah setia pecinta keluarga suci Nabi itu sudah tiada. Dari para pejuang gagah berani itu yang ada hanyalah onggokan jasad tanpa nyawa. Putera Amirul Mukminin sejati itu melantunkan kata mutiaranya:

"Akulah putera Ali dari Bani Hasyim, dan cukuplah kiranya ini menjadi kebanggaan bagiku. Fatimah adalah ibundaku, dan Muhammad adalah datukku. Dengan perantara kamilah Allah menunjukkan kebenaran dari kesesatan. Kamilah pelita-pelita Allah yang menerangi muka bumi. Kamilah pemilik telaga Al-Kautsar yang akan memberi minum para pecinta kami dengan cawan-cawan Rasul. Tak seorangpun dapat mengingkari kedudukan kami ini.

"Para pengikut kami adalah umat yang paling mulia di tengah makhluk, dan musuh-musuh kami adalah orang paling rugi pada hari kiamat. Beruntunglah hamba-hamba yang dapat berkunjung kepada kami di surga setelah kematian, surga yang keindahannya tak kunjung habis untuk disifati."

Hari Asyura adalah hari pementasan duka nestapa Ahlul Bait Rasul, hari rintihan sunyi putera Fatimah, hari keterasingan putera Azzahra, hari kehausan dan jerit tangis anak keturunan Nabi. "Adakah sang penolong yang akan menolong kami? Adakah sang pelindung yang akan melindungi kami? Adakah sang pembela yang akan menjaga kehormatan Rasulullah?" Pinta putera Ali bin Abi Thalib as itu kepada umat datuknya, Muhammad SAW.

Aku membandingkan iman yang ada pada diri. Oh Tuhan, jauh sekali bezanya. Kurniakanlah aku keteguhan iman persis pahlawan Karbala. Aku lemah, mudah sekali berputus asa. Aku selalu terpedaya dengan dunia. Hatiku cintakan isinya. Padahal di sisiMulah ganjaran yang tiada taranya. Aku sedih, adakah aku berpeluang meneguk kemanisan iman dan bersama-sama di taman syurga untuk bertemu dengan kekasih-Mu?

Adakah aku termasuk dalam golongan orang yang diberi nikmat untuk menatap wajah-Mu? Oh Tuhan, aku ingin bertemu dengan-Mu dalam keindahan itu, namun apa yang aku miliki sekarang tidak menjaminkan diriku untuk berada walaupun di pintu syurga. Oh Tuhan..sedihnya rasa hati memikirkan akhir perjalanan diri...
Selamatkanlah aku dari termasuk ke dalam golongan orang2 yang rugi~

No comments: